
Islam adalah anugerah yang tiada tara. Satu-satunya
agama yang diridhai oleh Allâh Azza wa Jalla di dunia dan akherat .
Perbuatan seseorang akan diakui bila ia telah memeluk Islam. Allâh Azza
wa Jalla berfirman:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang rugi.” [Ali-‘Imrân/3: 85]
Dan sebaliknya, agama selain Islam merupakan penghalang diterimanya
perbuatan baik seseorang, bahkan perbuatan baik tersebut akan sia-sia
dan sirna di sisi Allah Azza wa Jalla kelak. Allâh Azza wa Jalla
berfirman:
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّىٰ إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا
“Dan orang-orang kafir, amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana
di tanah yang datar, disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi
bila didatangi air itu, dia tidak mendapati sesuatu pun.” [an-Nûr/24:39]
Juga firman-Nya:
وَقَدِمْنَا إِلَىٰ مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan
amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” [al-Furqân/25:23]
Suatu ketika ‘Aisyah bertanya kepada Rasulullâh tentang seorang
dermawan yang hidup di zaman Jahiliyyah yang bernama Ibnu Jud’ân. Dia
sangat gemar menyambung tali silaturahmi dan memberi makan kaum miskin,
apakah kebaikan tersebut akan bermanfaat baginya? Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam pun menjawab:
لاَ يَا عَائِشَةُ ، إِنَّهُ لَمْ يَقُلْ يَوْمًا : رَبِّ اغْفِرْ لِيْ خَطِيْئَتِيْ يَوْمَ الدِّينِ
“Tidak wahai ‘Aisyah, karena dia tidak pernah sekalipun mengatakan:
Rabb-ku ampunilah kesalahan-kesalahanku di hari kiamat kelak.” [HR.
Muslim]
Nikmat ini harus selalu senantiasa disyukuri, dengan senantiasa
menjaganya agar tetap menetap kuat dalam jiwa dan dan mengisi hidup
dengan beramal saleh sebanyak mungkin, agar semakin bertambah dan kokoh,
serta jangan sampai berkurang apalagi sirna dari diri kita, alias
murtad. Na’ûdzubillah min dzâlik.
Semangat ini hendaknya terus kita pupuk, diantaranya dengan memahami
resiko yang bakal ditanggung oleh seorang murtad, keluar dari Islam.
Untuk itu, marilah kita simak uraian berikut ini. Semoga bermanfaat.
1.Definisi Murtad
Istilah murtad dalam bahasa Arab diambil dari kata ( ارْتَدَّ) yang
bermakna kembali berbalik ke belakang. Sedangkan menurut syariat, orang
murtad adalah seorang Muslim yang menjadi kafir setelah keislamannya,
tanpa ada paksaan, dalam usia tamyiiz (sudah mampu memilah dan memilih
perkara, antara yang baik dari yang buruk-pen.) serta berakal sehat.
Seorang yang menyatakan kekufuran karena terpaksa, tidak
dikategorikan sebagai orang murtad, sebagaimana yang terjadi pada diri
Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ’Ammâr bin Yâsir
Radhiyallahu anhu yang dipaksa dan disiksa agar mau mengingkari kenabian
Rasûlullâh dan mencela Islam. Akhirnya terpaksa menuruti mereka,
padahal hatinya tetap yakin akan kebenaran ajaran Rasûlullâh. Setelah
dibebaskan, dengan menangis dia mendatangi Rasulullah seraya
menceritakan peristiwa tersebut, dan ternyata Rasûlullâh memaafkannya.
Kemudian turunlah firman Allâh Azza wa Jalla :
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ
وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ
صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Barang siapa yang kafir kepada Allâh sesudah dia beriman (dia
mendapat kemurkaan Allâh), kecuali orang yang dipaksa kafir, padahal
hatinya tetap tenang dalam keimanan (dia tidak berdosa), akan tetapi
orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allâh
menimpanya dan baginya adzab yang besar.” [an-Nahl/16:106]
2. Sanksi-sanksi Moral Bagi Orang Murtad
Pada kesempatan kali ini, paparan bahasan ini terfokuskan pada
dampak-dampak buruk orang yang murtad di dunia dan akherat, sebuah
fenomena yang cukup banyak terjadi di tengah masyarakat kita. Sebagian
orang begitu mudah mengganti akidah Islamnya, entah karena kesulitan
ekonomi, anggapan semua agama itu sama dan mengajak kepada kebaikan,
ataupun kepentingan-kepentingan duniawi lainnya. Jika menyadari betapa
bahaya besar akan menimpa mereka usai menanggalkan baju Islamnya,
mungkin mereka tidak akan pernah melakukan tindakan bodoh tersebut.
Para Ulama Islam (kalangan Fuqaha) telah membahas konsekuensi hukum
yang berlaku pada orang Islam yang pindah agama dalam buku-bukum fiqih
mereka dalam pasal ar-riddah. Berikut ini konsekuensi buruk dari
perbuatan mencampakkan Islam – satu-satunya agama yang diridhai Allâh
Azza wa Jalla – dengan memeluk agama lainnya, menjadi seorang nasrani
atau pemeluk agama lainnya.
a. Amal Ibadahnya Terhapus
Banyaknya ibadah yang telah dilakukan,
tidak akan pernah bermanfaat bagi pelakunya, bahkan berguguran tanpa ada
hasil yang bisa dipetik, apabila di kemudian hari dia kufur kepada
Allâh Azza wa Jalla . Dan tempat kembalinya adalah neraka kekal abadi di
dalamnya, jika mati dalam kekufuran. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ
فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَٰئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي
الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۖ وَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا
خَالِدُونَ
“Barangsiapa diantara kalian yang murtad
dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang
sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni
neraka, mereka kekal di dalamnya.” [al-Baqarah/2:217]
b. Haknya Sebagai Seorang Muslim Sirna
Seorang Muslim wajib menunaikan orang Muslim lainnya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ
خَمْسٌ : رَدُّ السَّلاَمِ ، وَعِيَادَةُ الْمَرِيْضِ ، وَاتِّبَاعُ
الْجَنَاِئزِ ، وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ ،
وَتَشْمِيْتُ الْعَاطِسِ
وَتَشْمِيْتُ الْعَاطِسِ
“Hak seorang Muslim yang wajib ditunaikan
oleh orang Muslim lainnya ada lima: menjawab salam, mengunjungi yang
sedang sakit, mengiringi jenazahnya, memenuhi undangannya, mendoakan
yang bersin.” [HR. al-Bukhâri dan Muslim]
Berdasarkan hadits tersebut, maka seorang
Muslim tidak wajib menjawab lontaran salam dari orang yang murtad dari
Islam, tidak perlu menengoknya tatkala sakit, tidak perlu menghormati
dan mengiringi jenazahnya bila mati, tidak boleh mendatangi undangannya,
dan tidak boleh mendoakannnya ketika si murtad bersin.
c. Haram Menikahi Seorang Muslimah. Apabila Telah Menikah, Maka Otomatis Pernikahannya Batal Demi Hukum
Islam melarang umatnya menikah dengan
non-muslim secara umum, serta merupakan syarat sah suatu pernikahan
Islami adalah kedua mempelai beragama Islam – kecuali dengan wanita Ahli
Kitab dengan persyaratan yang ketat – . Adapun pernikahan seorang
Muslim dengan seorang wanita musyrik selain Ahli Kitab, pernikahan itu
tidak sah. Wanita Muslimah pun tidak boleh menikah dengan lelaki kafir,
termasuk lelaki yang berstatus murtad. Sebab pernikahan seorang Muslimah
(atau lelaki Muslim) dengan orang yang murtad pernikahan yang telah
terjalin menjadi putus dan batal secara otomatis. Allâh Azza wa Jalla
berfirman :
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ
يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ
أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ
وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ
أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ
وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ
يَتَذَكَّرُونَ
“Dan janganlah kalian menikahi
wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak
yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hati
kalian. Dan janganlah kalian menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hati kalian.
Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan
dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.” [Al-Baqarah/2:221]
Demikian juga Allâh Azza wa Jalla berfirman:
ۖ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ
فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ ۖ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا
هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
“Maka jika kalian telah mengetahui bahwa
mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kalian kembalikan mereka
kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi
orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi
mereka.” [al-Mumtahanah/60:10]
Dengan demikian, dalam Islam tidak halal
lagi bagi pasangan yang salah satunya telah murtad untuk melakukan
hubungan layaknya suami isteri.
d.Tidak Boleh Menjadi Wali Dalam Pernikahan
Seorang wanita muslimah apabila hendak
menikah, maka memerlukan seorang wali untuk menikahkannya, baik
bapaknya, pamannya dan seterusnya. Akan tetapi, misalnya bapak atau
walinya murtad, maka tidak berhak menikahkan anak atau kemenakannya yang
Muslimah. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan
perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian
yang lain.” [at-Taubah/9:71]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ
أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ
إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian
yang lain. Barang siapa di antara kalian mengambil mereka menjadi
pemimpin. Maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allâh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
zhalim.” [al-Mâ’idah/5:51]
Hal ini dipertegas oleh sabda yang
menyatakan bahwa, tidak ada pernikahan yang sah kecuali atas izin
seorang wali dan disaksikan oleh dua orang lelaki yang adil sebagai
saksi pernikahan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا نِكاَحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ
“Tidaklah suatu pernikahan itu (sah)
kecuali dengan seorang wali dan dua orang saksi yang adil.” [HR.
al-Baihaqi dan Ibnu Hibbân dengan sanad yang shahih]
Pengertian orang adil di sini ialah orang
yang jauh dari dosa besar dan tidak terus-menerus melakukan dosa kecil.
Atas dasar itu, seorang yang telah murtad dari Islam lebih tidak berhak
lagi untuk menjadi wali dan saksi dalam pernikahan.
e. Tidak Mewarisi dan Tidak Diwarisi Hartanya
Apabila seorang bapak meninggal dunia
dalam keadaan kafir (termasuk orang yang mati dalam keadaan murtad),
maka anak dan ahli warisnnya yang beragama Islam tidak boleh mewarisi
harta peninggalan bapaknya tersebut. Sebagian ulama menyatakan bahwa
harta orang seperti ini menjadi fai’ dan masuk ke Baitul Mal kaum
Muslimin dan digunakan untuk kemaslahatan kaum Muslimin. Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ، وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ
“Tidaklah seorang Muslim boleh mewarisi
(harta) orang kafir, demikian juga orang kafir tidak mewarisi (harta)
seorang Muslim.” [Muttafaqun’alaih]
Pada kasus yang lain, apabila seorang
bapak yang beragama Islam meninggal dunia, kemudian di antara anaknya
atau ahli warisnya ada yang non-Muslim (termasuk murtad) maka dia tidak
berhak mendapatkan bagian dari harta ayahnya.
f. Jika Mati, Tidak Dishalati, Tidak Dikafani Serta Tidak Boleh Didoakan
Apabila seseorang mati dalam keadaan
murtad dari Islam, maka dia tidak boleh dishalati, dikafani maupun
didoakan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَلَا تُصَلِّ عَلَىٰ أَحَدٍ مِنْهُمْ
مَاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَىٰ قَبْرِهِ ۖ إِنَّهُمْ كَفَرُوا
بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ
“Dan janganlah kamu sekali-kali
mensholatkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah
kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir
kepada Allâh dan Rasûl-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.”
[al-Taubah/9:84]
g. Jika Mati, Tida Boleh Dimakamkan Di Pemakaman Muslimin
Sejak zaman Nabi, kaum Muslimin
berinteraksi dan hidup berdampingan dengan orang-orang non-Muslim. Namun
dalam masalah pemakaman, beliau memisahkan lokasi pemakaman kaum
Muslimin dengan orang-orang kafir, sebagaimana dalam sebuah riwayat
sahabat Ibnul Khashâshiyah menceritakan: Suatu ketika Rasûlullâh
mendatangi pemakaman kaum Muslimin seraya mengatakan, “Mereka telah
memperoleh kebaikan yang banyak”. Beliau mengatakannya tiga kali.
Kemudian beliau mendatangi pemakaman kaum musyrikin seraya mengatakan,
“Mereka telah melewatkan kebaikan yang banyak”. Beliau mengatakannya
tiga kali. [HR. Abu Dâwud, an-Nasâ’i dan Ibnu Mâjah dengan sanad yang
shahih. Dishahihkan al-Albâni dalam Ahkâmul al-Janâ’iz]
h. Jika Mati Dalam Keadaan Murtad, Tidak Boleh Dimintakan Ampunan Baginya
Betapapun cinta kita terhadap orang lain,
tapi apabila dia meninggal dalam keadaan tidak memeluk Islam, maka kita
tidak diperkenankan memintakan ampunan atas dosa-dosanya, sebagaimana
teguran Allâh Azza wa Jallaepada Nabi-Nya dalam firman-Nya:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا
أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَىٰ مِنْ
بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan
orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allâh) bagi
orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum
kerabat (Nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik
itu adalah penghuni neraka Jahanam.” [at-Taubah/9:113]
i. Kaum Muslimin Memberikan Berita Buruk Ketika Melewati Kuburnya
Islam mengajarkan kepada untuk tidak
memberi salam dan tidak mendoakan kebaikan ketika melewati makam orang
kafir. Bahkan kita diperintahkan untuk mengabarkan kepadanya tentang
neraka. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
حَيْثُمَا مَرَرْتَ بِقَبْرِ كَافِرٍ فَبَشِّرْهُ بِالنَّارِ
“Dimanapun anda melewati makam orang
kafir, maka beritakanlah kepadanya tentang neraka.” [HR. Ibnu Mâjah,
at-Thabrâni dalam al-Mu’jam al-Kabiir]
j. Sembelihannya Haram Bagi Kaum Muslimin
Islam melarang segala sembelihan yang
tidak disebutkan nama Allâh Azza wa Jalla di dalamnya, termasuk
sembelihan kaum musyrikin maupun seorang ateis, terkecuali Ahli Kitab.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۖ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ
Pada hari ini dihalalkan bagi kalian yang
baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-kitab itu
halal bagi kalian, dan makanan kalian halal (pula) bagi mereka
[al-Mâ’idah/5:5]
k. Persaksiannya Ditolak
Telah kita ketahui bahwa sifat adil yang
dimaksud adalah jauhnya seseorang dari perbuatan dosa besar dan tidak
terus menerus melakukan dosa kecil. Dari sini, orang yang murtad lebih
tidak berhak lagi orang murtad, sehingga dia tidak boleh menjadi saksi
dalam peradilan Islam, dan juga dalam pernikahan seorang Muslim,
sebagaimana perintah Allâh Azza wa Jalla :
وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ
وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ
يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
“Dan persaksikanlah dengan dua orang
saksi yang adil di antara kalian, dan hendaklah kalian tegakkan
kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu
orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir.” [ath-Thalâq/65:2]
Maksudnya, dari kalangan kaum Muslimin, bukan yang lain.
l. Tidak Boleh Memasuki Tanah Suci (Tanah Haram)
Tanah suci atau tanah haram memiliki
kehormatan yang tidak boleh direndahkan dan dilanggar, di antara tidak
boleh seorang kafir pun memasukinya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam :
لاَ يَدْخُلُ مَكَّةَ مُشْرِكٌ بَعْدَ عَامِنَا هَذَا أَبَدًا
“Tidak boleh seorang musyrik pun memasuki kota Mekah setelah tahun ini selamanya.” [HR. al-Bukhâri]
3. Hukum Pidana Bagi Orang Murtad
Apabila seseorang murtad dengan berpindah ke agama lain atau memilih
untuk menjadi seorang ateis, langkah yang ditempuh adalah mendakwahinya
untuk kembali ke pangkuan Islam dalam tempo tiga hari. Jika tetap dalam
kemurtadannya, maka ia dihukum bunuh. Hal ini berdasarkan sabda
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ
“Siapa saja yang mengganti agamanya, maka hendaklah kalian bunuh dia.” [HR. al-Bukhâri]
Permasalahan jangka waktu penyadaran melalui dakwah agar ia bertaubat
selama tiga hari, kami belum menemukan dalil yang kuat untuk dijadikan
pijakan, kecuali dalil logika yang dikemukakan oleh sebagian ulama,
bahwa kemurtadan mayoritasnya disebabkan kerancuan pikiran dan syubhat
dalam diri orang tersebut, sehingga diharapkan dengan dakwah khusus
secara personal kepadanya, kerancuan dan syubhat tersebut bisa
dihilangkan dari pikirannya, sehingga mau dengan sukarela kembali ke
pangkuan Islam. Wallâhu a’lam.
4. Kesimpulan
Kemurtadan adalah bencana bagi pelaku baik di dunia terlebih di
akhirat, sehingga setiap Muslim harus ekstra hati-hati darinya, agar
tidak terjerumus ke dalamnya. Melalui pembahasan ini pula seyogyanya
seorang Muslim bersikap tegas (bersikap proporsional) terhadap
orang-orang yang rela menanggalkan akidah Islamnya. Karena sebagian umat
menyikapi keluarganya yang murtad dengan dingin-dingin saja seolah-olah
tidak terjadi apa-apa. Semoga kita dijauhkan dari bencana seperti ini
dan diwafatkan dalam keadaan memegangi akidah Islamiyyah, sehingga kelak
dikumpulkan dengan penduduk Jannah. Amin.
0 komentar:
Posting Komentar