
Sering kali kita menganggap meninggalkan shalat Jum’at itu hal yang
biasa, aaaaah kan belum tiga kali, jadi belum di anggap kafir…. sobat
sekalina mari kita simak/membaca artikel dibawah ini tentang kewajiban
shalat jum’at. semoga menjadi renungan bagi kita semua…
Shalat Jumat disyariatkan di dalam Al-Quran Al-Kariem,
As-sunnah an-Nabawiyah dan juga oleh Ijma` (kesepaktan) seluruh ulama.
Sehingga siapa yang mengingkari kewajiban shalat jumat, maka dia kafir
karena mengingkari Al-Quran dan As-Sunnah.
Di dalam Al-Quran, pensyariatan shalat jumat disebutkan di dakam
sebuah surat khusus yang dinamakan dengan surat Al-Jumu`ah. Disana Allah
telah mewajibkan umat Islam untuk melaksanakan shalat jumat sebagai
bagian dari kewajiban / fardhu `ain atas tiap-tiap muslim yang memenuhi
syarat.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلاةِ
مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا
الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat
Jum`at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.(QS. Al-Jumu`ah : 9)
- Sunnah
Ada banyak hadits nabawi yang menegaskan kewajiban shalat jumat. Diantaranya adalah hadits berikut ini :
وَعَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَمْلُوكٌ وَامْرَأَةٌ وَصَبِيٌّ وَمَرِيضٌ رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ
Dari Thariq bin Syihab radhiyallahu `anhu bahwa Rasulullah SAW
bersabda,”Shalat Jumat itu adalah kewajiban bagi setiap muslim dengan
berjamaah, kecuali (tidak diwajibkan) atas 4 orang. [1] Budak, [2]
Wanita, [3] Anak kecil dan [4] Orang sakit.” (HR. Abu Daud)
مَنْ تَرَكَ َثلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا طبَعَ الله عَلىَ قَلْبِهِ
Dari Abi Al-Ja`d Adh-dhamiri radhiyallahu `anhu berkata bahwa
Rasulullah SAW bersabda,”Orang yang meninggalkan 3 kali shalat Jumat
karena lalai, Allah akan menutup hatinya.” (HR. Abu Daud, Tirmizy,
Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad)
لَيَنتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الجُمُعَةَ أَوْ
لَيَخْتَمَنَّ الله عَلَى قُلُوْبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُوْنَنَّ مِنَ
الغَافِلِيْنَ
Dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah radhiyallahu `anhu berkata bahwa
mereka mendengar Rasulullah SAW bersabda di atas mimbar,”Hendaklah
orang-orang berhenti dari meninggalkan shalat Jumat atau Allah akan
menutup hati mereka dari hidayah sehingga mereka menjadi orang-orang
yang lupa”.(HR. Muslim, An-Nasai dan Ahmad)
Berdasarkan riwayat di atas, meninggalkan shalat jum`at termasuk
dosa-dosa besar. Al-Hafidz Abu Al-Fadhl Iyadh bin Musa bin Iyadh dalam
kitabnya Ikmalul Mu`lim Bifawaidi Muslim berkata:
“Ini menjadi hujjah yang jelas akan kewajiban pelaksanaan shalat
Jum`at dan merupakan ibadah Fardhu, karena siksaan, ancamam, penutupan
dan penguncian hati itu ditujukan bagi dosa-dosa besar (yang dilakukan),
sedang yang dimaksud dengan menutupi di sini adalah menghalangi orang
tersebut untuk mendapatkan hidayah sehingga tidak bisa mengetahu mana
yang baik dan mana yang munkar”.
- Yang Diwajibkan
Kewajiban shalat jumat berlaku untuk semua umat Islam, dengan kriteria sebagai berikut :
- Laki-laki, sedangkan wanita tidak diwajibkan untuk shalat jumat namun bila dia mengerjakan, maka kewajiban shalat zuhurnya telah gugur (tidak perlu shalat zhuhur lagi).
- Dalam keadaan sehat, sedangkan orang sakit tidak wajib shalat jumat.
- Dewasa yaitu baligh, sedang anak-anak tidak wajib shalat jumat.
- Muqimin yaitu orang yang menetap bukan musafir atau yang sedang dalam perjalanan.
- Merdeka bukan hamba sahaya. Namun ulama berbeda pendapat tentang dua nomor terakhir itu, apakah termasuk atau tidak.
- Yang Tidak Diwajibkan
Orang-orang berikut ini tidak diwajibkan shalat jumat berdasarkan dalil-dali yang shahih, yaitu :
- Para budak
- Wanita
- Anak-anak
- Orang Sakit
- Musafir
Dalilnya adalah hadits nabi yang telah disebutkan di atas, yaitu :
Dari Thariq bin Syihab radhiyallahu `anhu bahwa Rasulullah SAW
bersabda,”Shalat Jumat itu adalah kewajiban bagi setiap muslim dengan
berjamaah, kecuali (tidak diwajibkan) atas 4 orang. [1] Budak, [2]
Wanita, [3] Anak kecil dan [4] Orang sakit.” (HR. Abu Daud)
- Tempat Shalat Jumat
Pada dasarnya shalat jumat itu dilakukan di dalam masjid atau di
dalam pusat pemukiman manusia. Bukan di hutan, padang pasir, pedalaman
atau tempat-tempat yang sepi dari manusia.
Di masa Rasulullah SAW dulu, orang-orang yang tinggal di badiyah
(luar kota) harus berjalan jauh untuk masuk ke Madinah untuk bisa ikut
shalat Jumat. Sebab shalat jumat tidak wajib dilaksanakan di luar
wilayah pemukiman yang dihuni masyarakat.
Disebutkan bahwa Umar bin al-Khattab pernah mengirim surat kepada penduduk Bahrain untuk melakukan shalat Jumat dimanapun .
Pada zaman kita sekarang ini bila mesjid penuh sedangkan jumlah
orang yang akan melaksanakan shalat jumat tidak tertampung lagi, boleh
membuat shalat jumat di tempat selain masjid. Dan memang secara
statistik, jumlah masjid yang ada tidak mencukupi untuk menampung shalat
seluruh kaum muslimin. Bila ada masjid nampak lengang, kemungkinan
besar adalah kurangnya kesadaran masyarakat sekitar untuk melakukan
shalat berjamaah. Jadi memang jumlah masjid itu kurang cukup
dibandingkan dengan jumlah umat Islam.
Boleh memanfaatkan suatu ruangan sebagai tempat shalat jumat,
asalkan tempat itu bersih dan suci. Boleh menggunakan aula, ruang
pertemuan, gedung parkir dan ruangan-ruangan lain yang layak `disulap`
menjadi masjid untuk shalat jumat.
Bahkan dalam kasus seperti itu, menurut sebagian pendapat, tempat
itu untuk sementara waktu berubah hukumnya menjadi mesjid. Karena itu
berlaku pula shalat sunnah dua rakaat tahiyatul masjid. Namun bila ada
pendapat yang menolak hal ini, mungkin saja. Karena pendapat ini tidak
mutlak kebenarannya, tetapi merupakan ijtihad para ulama berdasarkan
mashlahat dan kepentingan umat.
- Jumlah Minimal Jama`ah
As-Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunah menyebutkan paling tidak ada 15
pendapat yang berbeda dalam menetukan batas minimal jumlah jamaah dalam
shalat Jumat .
Meski boleh tidak mencapai 40 orang, bukan berati setiap beberapa
orang boleh menyelenggarakan sendiri-sendiri dengan 2 atau 3 orang.
Bukan demikian pengertianya, tetapi bila memang tidak ada lagi orang
muslim lainnya di suatu tempat.
Syeikh Ibnu Taimiyyah berpendapa bahwa shalat Jum`at boleh
dilakukan oleh tiga orang; satu orang berkhutbah dan dua orang
mendengarkan khutbah tersebut. Dan ini merupakan salah satu riwayat dari
Ahmad dan merupakan pendapat sebagian ulama .
- Al-Hanafiyah
Al-Hanafiyah mengatakan bahwa jumlah minimal untuk sahnya shalat
jumat adalah tiga orang selain imam. Nampaknya kalangan ini berangkat
dengan pengertian lughawi (bahasa) tentang sebuah jamaah. Yaitu bahwa
yang bisa dikatakan jamaah itu adalah minimal tiga orang.
Bahkan mereka tidak mensyaratkan bahwa peserta shalat jumat itu
harus penduduk setempat, orang yang sehat atau lainnya. Yang penting
jumlahnya tiga orang selain imam atau khatib.
Selain itu mereka juga berpendapat bahwa tidak ada nash dalam
Al-Quran Al-Karim yang mengharuskan jumlah tertentu kecuali perintah itu
dalam bentuk jama`. Dan dalam kaidah bahasa arab, jumlah minimal untuk
bisa disebut jama` adalah tiga orang.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلاةِ
مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا
الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat
Jum`at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.(QS. Al-Jumu`ah : 9)
Kata kalian menurut mereka tidak menunjukkan 12 atau 40 orang, tetapi tiga orang pun sudah mencukupi makna jama`.
- Al-Malikiyah
Al-Malikiyah menyaratkan bahwa sebuah shalat jumat itu baru sah bila dilakukan oleh minimal 12 orang untuk shalat dan khutbah.
Jumlah ini didapat dari peristiwa yang disebutkan dalam surat
Al-Jumu`ah yaitu peristiwa bubarnya sebagian peserta shalat jumat karena
datangnya rombongan kafilah dagang yang baru pulang berniaga. Serta
merta mereka meninggalkan Rasulullah SAW yang saat itu sedang berkhutbah
sehingga yang tersisa hanya tinggal 12 orang saja.
وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انفَضُّوا
إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا قُلْ مَا عِندَ اللَّهِ خَيْرٌ مِّنَ
اللَّهْوِ وَمِنَ التِّجَارَةِ وَاللَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar
untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri .
Katakanlah: `Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan
perniagaan`, dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezki.(QS. Al-Jumu`ah : 11)
Oleh kalangan Al-Malikiyah, tersisanya 12 orang yang masih tetap
berada dalam shaf shalat Jum`at itu itu dianggap sebagai syarat minimal
jumlah peserta shalat Jumat. Dan menurut mereka, Rasulullah SAW saat itu
tetap meneruskan shalat jumat dan tidak menggantinya menjadi shalat
zhuhur.
- Asy-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah
Asy-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah menyaratkan bahwa sebuah shalat
jumat itu tidak sah kecuali dihadiri oleh minimal 40 orang yang ikut
shalat dan khutbah dari awal sampai akhirnya.
Dalil tentang jumlah yang harus 40 orang itu berdasarkan hadits Rasulullah SAW :
وَعَنْ جَابِرٍ قَالَ: مَضَتِ السُّنَّةُ أَنَّ فِي كُلِّ
أَرْبَعِينَ فَصَاعِدًا جُمُعَةً رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ بِإِسْنَادٍ
ضَعِيف
Dari Ibnu Mas`ud radhiyallahu `anhu bahwa Rasulullah SAW shalat
Jum`at di Madinah dengan jumlah peserta 40 orang atau lebih. (HR.
Ad-Daruquthuny) .
Inil adalah dalil yang sangat jelas dan terang sekali yang
menjelaskan berapa jumlah peserta shalat jumat di masa Rasulullah SAW.
Menurut kalangan Asy-Syafi`iyah, tidak pernah didapat dalil yang shahih
yang menyebutkan bahwa jumlah mereka itu kurang dari 40 orang. Tidak
pernah disebutkan dalam dalil yang shahih bahwa misalnya Rasulullah SAW
dahulu pernah shalat jumat hanya bertiga saja atau hanya 12 orang saja.
Karena menurut mereka ketika terjadi peristiwa bubarnya sebagian jamaah
itu, tidak ada keterangan bahwa Rasulullah SAW dan sisa jamaah
meneruskan shalat itu dengan shalat jumat.
Dengan hujjah itu, kalangan Asy-Syafi`iyah meyakini bahwa satu-satu
keterangan yang pasti tentang bagaimana shalat Rasulullah SAW ketika
shalat jumat adalah yang menyebutkan bahwa jumlah mereka 40 orang.
Bahkan mereka menambahkan syarat-syarat lainnya, yaitu bahwa
keberadaan ke-40 orang peserta shalat jumat ini harus sejak awal hingga
akhirnya. Sehingga bila saat khutbah ada sebagian peserta shalat jumat
yang keluar sehingga jumlah mereka kurang dari 40 orang, maka batallah
jumat itu. Karena didengarnya khutbah oleh minimal 40 orang adalah
bagian dari rukun shalat jumat dalam pandangan mereka.
Seandainya hal itu terjadi, maka menurut mereka shalat itu harus
dirubah menjadi shalat zhuhur dengan empat rakaat. Hal itu dilakukan
karena tidak tercukupinya syarat sah shalat jumat.
Selain itu ada syarat lainnya seperti :
- Muqim
Ke-40 orang itu harus muqimin atau orang-orang yang tinggal di
tempat itu (ahli balad), bukan orang yang sedang dalam perjalanan
(musafir), Karena musafir bagi mereka tidak wajib menjalankan shalat
jumat, sehingga keberadaan musafir di dalam shalat itu tidak mencukupi
hitungan minimal peserta shalat jumat.
- Laki
Ke-40 orang itu pun harus laki-laki semua, sedangkan kehadiran
jamaah wanita meski dibenarkan namun tidak bisa dianggap mencukupi
jumlah minimal.
- Merdeka
Ke-40 orang itu harus orang yang merdeka, jamaah yang budak tidak bisa dihitung untuk mencukupi jumlah minimal shalat jumat.
- Mukallaf
Ke-40 orang itu harus mukallaf yang telah aqil baligh, sehingga
kehadiran anak-anak yang belum baligh di dalam shalat jumat tidak
berpengaruh kepada jumlah minimal yang disyaratkan.
- Ø Tertinggal Shalat Jumat
Para ulama telah bersepakat bahwa siapa yang tertinggal ikut jamaah
shalat jumat, maka harus shalat empat rakaat yaitu shalat zhuhur.
Sedangkan batas apakah seseorang itu bisa dikatakan masih ikut shalat
jumat atau tidak adalah bila minimal masih mendapat satu rakaat bersama
imam dalam shalat jumat.
Misal, pada shalat jumat ada seorang yang terlambat. Lalu dia ikut
shalat bersama imam, sedangkan saat itu imam sudah berada pada rakaat
kedua tapi belum lagi bangun dari ruku`. Maka bila makmum itu masih
sempat ruku` bersama imam, berarti dia telah mendapat satu rakaat
bersama imam. Dalam hal ini, dia mendapatkan shalat jumat karena minimal
ikut satu rakaat. Jadi bila imam mengucapkan salam, maka dia berdiri
lagi untuk menyelesaikan satu rakaat lagi.
Tapi bila dia tidak sempat bersama imam pada saat ruku` di rakaat
kedua, maka dia tidak mendapat minimal satu rakaat bersama imam. Yang
harus dilakukannya adalah tetap ikut dalam jamaah itu, tapi berniat
untuk shalat zhuhur.
Bila seseorang masuk masjid untuk shalat jumat, tetapi imam sudah
i`tidal (bangun dari ruku`) pada rakaat kedua, maka saat itu dia harus
takbiratul ihram dan langsung ikut shalat berjamaah bersama imam tapi
niatnya adalah shalat zhuhur. Bila imam mengucapkan salam, maka dia
berdiri lagi untuk shalat zhuhur sebanyak 4 rakaat. Ketentuan ini
berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مَرْفُوعًا مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الصَّلاةِ فَقَدْ أَدْرَكَهَا
Dari Abi Hurairah radhiyallahu `anhu“Siapa yang mendapatkan satu
rakaat bersama imam, maka dia terhitung (mendapat) shalat itu”. (Hadits
Muttafaq Alaihi) .
وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ مَنْ
أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنِْ صَلاَةِ الجُمُعَةِ وَغَيْرِهَا فَلْيُضِفْ
إِلَيْهَا أُخْرَى وَقَدْ تَمَّتْ صَلاَتُهُ – رَوَاهُ النَّسَائِيُّ
وَابْنُ مَاجَهْ وَاَلدَّارَقُطْنِيُّ
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu `anhu bahwa Rasulullah SAW
bersabda, “Siapa yang mendapatkan satu rakaat pada shalat Jumat atau
shalat lainnya, maka tambahkanlah rakaat lainnya, maka dia terhitung
(mendapat) shalat itu”. (HR. An-Nasai, Ibnu Majah, Ad-Daruquthuni)
Selain kedua dalil ini adalah beberapa hadits lain yang senada yang diriwayatkan oleh An-Nasai, Ad-Daruquhtuni dan lainnya.
- Shalat Dzhur Setelah Shalat Jumat
Ada kasus pada masjid tertentu, setelah selesai shalat Jumat,
langsung diadakan shalat Dzhuhur berjamaah. Alasannya, karena syak atau
keraguan yang muncul takut shalat Jumat itu tidak sah, lantaran beberapa
alasan :
Pertama, tidak jauh dari masjid itu terdapat masjid
lain yang jaraknya cukup dekat. Padahal konon ada aturan bahwa bila ada
dua masjid berdekatan yang sama-sama melaksanakan shalat Jumat, maka
salah satunya tidak sah. Yang tidak sah adalah yang shalatnya
belakangan.
Kedua, ragu kalau-kalau di antara jamaah yang ikut
shalat itu bukan termasuk orang yang muqim. Sebagaimana di perkotaan
dimana umumnya masjid-masjid dipenuhi jamaah saat shalat Jumat. Namun
belum tentu orang-orang yang memenuhi masjid itu termasuk orang yang
muqim di sekitar masjid.
Sementara dalam beberapa kitab fiqih di mazhab As-Syafi`i, ada
disebutkan bahwa di antara syarat shalat Jumat itu harus dilakukan oleh
minimal 40 orang yang muqim. Bila jumlah jamaahnya kurang dari 40 orang,
maka tidak sah shalat Jumat itu.
Demikian juga bila jumlah jamaahnya lebih dari 40 orang, tetapi
banyak di antaranya bukan orang yang muqim, melainkan musafir, sehingga
jumlah mereka yang muqim kurang dari 40 orang, maka shalat Jum`at
seperti ini juga dianggap tidak sah.
Sehingga dengan demikian muncul kemudian ide untuk melaksanakan shalat Dzhuhur setelah shalat Jumat.
Ini merupakan beberapa masalah yang sering diajukan kepada penulis.
Bahkan ada seorang ketua takmir masjid yang berterus terang kepada
penulis, bahwa dirinya pada setiap pulang dari shalat Jumat di masjid,
selalu melakukan shalat Dzhuhur lagi di rumahnya. Hal itu dilakukan
karena alasan yang pertama di atas.
Untuk itu penulis perlu memberikan jawaban agar tidak menimbulkan masalah.
Pertama : Memang benar ada ketentuan bahwa di dalam satu wilayah
tidak boleh diadakan beberapa shalat Jumat yang berbeda. Hal itu
mengingat tujuan shalat Jumat adalah menyatukan seluruh kaum muslimin di
satu tempat, sesuai dengan istilah jumat yang bersalah dari berkumpul
atau berhimpun.
Namun ketentuan ini tidak lantas menjadi sebuah syarat atau
ketentuan yang bersifat kaku. Hal itu karena alasan yang sangat teknis
di masa sekarang, apalagi di tengah perkotaan, dimana kebanyakan
masjid-masjid yang ada tidak menampung jumlah jamaah yang membeludak.
Sehingga dirasa perlu dibangun masjid lainnya agar dapat menampung
jamaah.
Tentu saja akan lebih baik bila jamaah dapat tertampung di dalam
masjid, dari pada shalat di jalan sehingga mengganggu lalu lintas jalan.
Untuk tidak mengapa kalau dalam jarak yang tidak terlalu jauh juga
didirikan masjid yang juga mengadakan shalat Jumat.
Bahkan ketika di padang Arafah pun, tiap tenda boleh melakukan
khutbah Arafah sendiri-sendiri, padahal ada khutbah yang diselenggarakan
oleh pemerintah Saudi Arabia.
Kedua, masalah kekhawatiran bahwa diantara jamaah shalat Jumat terdiri dari orang yang bukan muqim.
Kita bisa menjawab bahwa istilah muqim itu adalah lawan kata dari
musafir. Orang yang muqim adalah orang tidak dalam status musafir.
Sehingga dalam hal ini, meski jamaah di masjid perkotaan itu memang
tidak berumah di dekat masjid, bukan berarti statusnya adalah musafir.
Mereka tetap dianggap orang yang muqim, meski rumahnya jauh dari masjid.
Sebagai bukti bahwa mereka bukan musafir tapi orang yang statusnya
muqim adalah bahwa mereka belum atau tidak boleh melakukan shalat jama`
dan qashr. Seandainya mereka bukan muqimin tapi termasuk musafir,
seharusnya mereka boleh menjama` dan mengqashar shalat, dan tidak perlu
ikut shalat Jumat.
- Tidak Boleh Ada 2 Jumatan pada Tempatyang Sama
Di dalam mazhab As-Syafi`i memang ada ketentuan bahwa tidak boleh
ada 2 shalat Jumat di satu tempat yang sama atau berdekatan. Dalam
beberapa literatur fiqih mazhab ini, memang ada ketentuan demikian.
Namun perlu diperhatikan bahwa ketentuan ini tetap ada
pengecualiannya. Pengecualinnya adalah bila di satu masjid sudah penuh
dan tidak lagi menampung jamaah, maka dibolehkan dibuat lagi jamaah
shalat Jumat di dekatnya. Dengan demikian, adanya dua masjid yang
berdekatan yang keduanya sama-sama menyeleng-garakan shalat Jumat sangat
dimungkinkan, selama masjid-masjid itu tidak mampu lagi menampung
jamaah.
Maka tindakan seorang jamaah yang shalat Zhuhur setelah shalat
Jumat dengan alasan berjaga-jaga kalau-kalau shalat Jumat itu tidak syah
adalah sikap yang mengada-ada serta berlebihan dalam agama.
Padahal ketentuan-ketentuan seperti itu hanya ada dalam satu mazhab,
sedangkan di mazhab lain tidak ada peraturan yang seketat itu. Seperti
batasan minimal harus 40 orang jamaah atau tidak boleh ada dua Jumat
berdekatan. Bukankah agama Islam ini adalah agama yang mudah? Maka
memang mudah, mengapa harus dibuat susah?
0 komentar:
Posting Komentar