"Mendengar kalimat “syariat islam”, pikiran kita langsung teringat
kepada hukum cambuk dan rajam serta penggal kepala,Tangan di potong,dsb,.."

Mendengar kalimat “syariat islam”, pikiran kita langsung teringat
kepada hukum cambuk dan rajam serta penggal kepala, sebagai konsekuensi
pengamalan agama secara kaffah serta cita-cita menerapkan kehidupan
seperti pada zaman Rasulullah karena dianggap paling ideal sebagai
teladan hidup di dunia maupun di akhirat. Kita akan langsung mempunyai
bayangan, ibarat kita memasuki sebuah lorong ke masa Rasulullah dan di
sana kita diajak duduk bersama Nabi dan para sahabat kemudian kita
melihat cara makan, minum, membersihkan gigi, berpakaian, berdagang,
berperang dan menjalankan pemerintahan yang tidak korup serta menerapkan
hukuman terhadap orang yang bersalah secara adil. Itulah sebuah potret kehidupan Rasulullah yang diidam-idamkan oleh sebagian besar umat islam.
Akan lain jadinya kalau hal itu terjadi dan diangkat ke masa
sekarang. Kehidupan pada masa Rasulullah akan terasa sangat sederhana
dan konvensional, baik di bidang perekonomian, perdagangan,
pemerintahan, maupun alat-alat bantu dalam kehidupan seperti pertanian,
peternakan dan perindustrian. Kebudayaan dan teknologi masa kini telah
menjauh melampaui kehidupan masa lalu, dimana dunia perekonomian dan
perkembangan hukum, teknologi transportasi, kedokteran, perindustrian,
pertanian dan lain sebagainya semakin tinggi dan modern.
Ada sebagian umat yang ingin mempertahankan dan
membanggakan dirinya dengan istilah kaum salafi, yaitu kaum yang tidak
terkontaminasi oleh pemikiran kaum bid’ah (pembuat syariat baru). Mereka
ingin melaksanakan ajaran islam yang benar-benar murni (orisinil) dam
berasal dari nash serta perilaku kehidupan rasulullah, dengan tingkat
keshahihan yang diakui secara mutawatir.
Memang benar pada masa Rasulullah, kehidupan bermasyarakat yang
adil dan makmur telah dicapai. Hak asasi manusia secara fitrah dan
alamiah dijunjung tinggi. Akan tetapi apabila memandang keberhasilan
yang telah dicapai Rasulullah hanya dibatasi dari sisi teks verbal pada
setiap perbuatan Rasulullah, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
masa kini yang sungguh berbeda dalam interpretasi makna, maka tentu
saja akan menjadi masalah.
Sebagai contoh, kalau membersihkan gigi merupakan sunah Nabi,
bukan berarti kita lantas menginterpretasikan kalimat ”membersihkan”
harus menggunakan akar siwak yang dibentuk menyerupai serat untuk
memudahkan membersihkan gigi, hanya karena harus mengikuti teks verbal
shahih. Membersihkan gigi itu sunnatullah dan alamiah, jangan kita
terjebak kepada kata ”ortodoks” untuk mempertahankan interpretasi
menurut Rasulullah secara verbal akan tetapi kita disuruh mengikuti
sunnahnya.
Interpretasi yang keliru dari hal-hal seperti itu,
pada akhirnya akan membuat kita ketinggalan dalam perkembangan budaya
secara fitrah dengan kaum yang tidak menjalankan hadis, karena
sebenarnya mereka menjalankan kefitrahannya menurut sunnatullah
(alamiah). Membersihkan gigi dengan sikat yang lebih modern yaitu dengan
dialiri listrik, dan dibumbui pasta gigi akan sekaligus mematikan kuman
yang banyak dihasilkan oleh sisa makanan yang melekat pada sela-sela
gigi.
Rasulullah menjalankan sunnatullah (membersihkan
gigi sehingga kuman-kuman yang melekat pada sela-sela gigi dapat dibuang
dengan teknlogi yang sangat sederhana), yaitu mengikuti hukum-hukum
alamiah (ilmu pengetahuan), yang seharusnya terus berkembang sampai
akhir zaman.
Lain halnya, untuk syariat yang telah ditetapkan makna dan
prakteknya secara khusus, seperti pada sholat. Beliau secara verbal
mengatakan, ”Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat saya sholat.” (H.R.Bukhari, Ahmad, Darini).
Hal ini menunjukkan bahwa kita tidak boleh memberikan interpretasi
mengenai hadits tersebut. Demikian juga mengenai syariat haji, puasa,
zakat dan ibadah yang ditetapkan secara verbal lainnya.
Jadi, berpikir secara kontemporer tidak berarti menafsirkan
Al-Qur’an sesuai dengan teori-teori ilmiah atau penemuan-penemuan baru.
Kita dapat menggunakan pendapat para ulama, cendikiawan, hasil
percobaan, dan pengalaman para ilmuwan, mengasah otak untuk membantu
mengadakan ta’ammul dan taddabur dalam membantu memahami arti ayat-ayat
Al-Qur’an tanpa mempercayai setiap hipotesis atau pandangannya. Setiap
ayat bisa dipahami berbeda oleh individu yang berbeda. Setiap ayat juga
bisa dipahami berbeda disetiap kurun waktu (zaman) tertentu. Pemahaman
bisa berubah karena latar belakang pengalaman dan ilmu serta budaya.
Pemahaman bisa berubah karena latar belakang pengalaman dan ilmu serta
budaya. Seperta kata ’turab’ dalam firman Allah:
”Hai manusia, jika kamu dalam keraguan
tentang kebangkitan (dari kubur) maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami
telah menjadikan kamu dari turab (debu) kemudian dari setetes mani,
kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang
sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada
kamu dan kami tetapkan dalam rahim, apa yang kami kehendaki sampai waktu
yang sudah ditentukan” (Q.S.Al-Hajj : 5)
Istilah ’debu’, bagi umat zaman itu (zaman Rasulullah) adalah
debu seperti yang kita lihat sekarang di jalanan itu. Akan tetapi makna
itu berubah menjadi lain, manakala manusia mulai mengenal ilmu
pengetahuan lebih dari sebelumnya: ternyata debu yang pada masa itu
hanyalah bentuk sesuatu seperti debu (bubuk), sedangkan bagi pikiran
orang sekarang debu itu maksudnya adalah zat renik. Dari zat ini
tercipta ’nutfah’, kemudian menjadi segumpal darah, kemudian menjadi segumpal daging yang sempurna kejadiannya.
Demikian juga dengan firman Allah dalam surat Ar-Rahman, 55 ayat 14: ”Dia menciptkan manusia dari tanah liat yang kering seperti tembikar”. Kalau
dilihat daru arti harfiah (sebenarnya), bagi orang zaman dahulu, bisa
jadi pemahamannya adalah bahwa menusia itu benar-benar terbuat dari
tembikat seperti patung tembikat dari Plered, kemudian diberi roh. Hal
ini tidak dapat disalahkan, karena memang pengetahuan pada masa itu baru
sampai disitu. Di sisi lain, pengertian dan pemahaman ’tembikar’ yang
berubah pada masa kini tentu saja tidak dengan mengubah lafadz
Al-Qur’an. Biarkan lafadz itu bercerita kepada siapa saja yang
membacanya dan pengertiannya tergantung intuisi yang turun melalui
jiwanya.
Ada pula lafadz manusia diciptakan dari ”air yang memancar”. Air
ya air, benda yang berbentuk cair, bahwa itu disebut air yang memancar,
pada zaman dahulu mereka tetap hanya membayangkan sebagai air.
Bandingkan dengan masa kita sekarang dimana pengertian air yang memancar
langsung mengarahkan kita kepada bayangan mengenai air mani lengkap
dengan spermatozoanya.
Juga pada arti zarrah maksudnya adalah benda yang sangat kecil. Mufassir masa
dahulu memberikan pengertian terhadap benda kecil itu adalah biji sawi,
karena yang diketahui tentang benda terkecil itu adalah biji sawi.
Berbeda dengan pengetahuan masa sekarang yang menyatakan benda terkecil
adalah atom, yang mungkin juga berubah lagi di masa mendatang sesuai
perkembangan ilmu pengetahuan (ayat pada alam semesta). Namun demikian,
kendati pengertian zarrah senantiasa berubah sesuai
perkembangan ilmu pengetahuan manusia namun maknanya tetap sama: benda
terkecil. Begitulah terus menerus sehingga Islam disebut agama sepanjang
zaman dan kekal.
Perlu dipertimbangkan juga tentang perkembangan arti suatu kata,
sebab ketika mendengar atau mengucapkan suatu kata benda, maka yang
tergambar dalam benak kita adalah bentuk material atau yang berhubungan
dengan materinya. Padahal bentuk materi tadi dapat mengalami perubahan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan. Sebagai
contoh, kata ”lampu”. Bagi suatu masyarakat tertentu lampu berarti alat
penerang yang terdiri dari wadah yang berisi minyak dan sumbu yang
dinyalakan dengan api. Berbeda dengan pengertian yang ada dalam benak
kita, dimana yang tergambar tentang material tersebut adalah bola lampu
atau lampu neon (TL-’tubular lamp’).
Inilah yang dikatakan, bahwa Al-Qur’an berbicara kepada siapa
saja, dari zaman ke zaman dan bersifat universal alamiah sesuai dengan
ayat-ayat yang terhampar pada alam semesta (ayat-ayat kauniah). Apa
jadinya kalau kita harus mengikuti interpretasi orang-orang yang
pengetahuannya dibatasi seperti itu, sehingga pikiran dan pengetahuan
tentang makna sesuatu tidak berkembang seperti apa yang telah diuraikan
di atas. Bisa jadi Al-Qur’an hanya menjadi kitab usang dan mati,
astaghfirullah! Yang harus dicamkan adalah, meskipun pemahaman terhadap
sesuatu kata atau kalimat berubah, hal itu tidak mengubah kata-kata
firman (lafadz Al-Qur’an). Yang berubah itu makna setiap oramh tentanng
anggapan/pemahaman kata yang dimaksud secara dimensional.
Pamahaman dan penghayatan terhadap Al-Qur’an adalah sesuatu yang
dinamis sejalan dengan perkembangan pikiran dan ilmu pengetahuan.
Dinamika itu harus terjadi dalam seriap sendi kehidupan bermasyarakat
termasuk di masjid. Pada umumnya, ketika kita mengikuti pengajian di
masjid sekarang ini, yang diperoleh adalah interpretasi tentang yang
terjadi pada masa lampau, sehingga pola kehidupan kita akan dipaksakan,
hidup seperti apa yang dipikirkan oleh kaum terdahulu. Hal ini tidaklah
mungkin kita lakukan. Kalalulah harus memaksakan untuk menetapkan
interpretasi kaum intelektual masa lampai, kita akan tampil seperti
cerita kaum Ash habul kahfi yang terheran-heran dengan dunia yang amat berbeda dari masa 350 tahun sebelumnya.
Perilaku kita akan unik dan aneh. Seperti suku badui
di Banten yang tetap menjalankan tradisi nenek moyang, tanpa peduli
perkembangan budaya telah bejalan pesat. Mereka mengganggap aneh kepada
orang yang telah melakukan inovasi pemikiran serta budayanya yang lebih
tinggi.
Penceramah yang hanya menyampaikan interpretasi intelektual masa
lampau, kerap mengatakan masyarakat sekarang tidak kembali kepada
Al-Qur’an dan hadits. Mereka menjustifikasi, bahwa sebagian besar
masyarakat kita telah berbuat fasik dan sekuler. Mereka menyatakan Al
Islam; ”Islam itu tinggi tidak ada yang bisa menandingi ketinggiannya.” ”Kalian adalah sebaik-baik umat (khairu ummah). Namun
fakta di masjid dengan kenyataan di lapangan sangat berbeda. Kita
melihat antagonisme antara apa yang dikatakan di masjid. Di dalam
dakwah, dan apa yang ada di dalam kehidupan nyata. Apa yang terjadi
dalam kehidupan nyata dengan apa yang dikatakan di masjid-masjid sangat
berbeda. Akan sangat terasa perbedaan yang dirasakan, ketika selesai
mengikuti ceramah agam di masjid dengan seminar tentang masalah aktual
kehidupan nyata.
Agama Islam, dalam sebuah risalah Rasulullah disebut
sebagai agama fitrah yaitu agama yang mewakili naluri manusia. Islam
berbicara dari hati yang paling asasi, yaitu mengikuti cara-cara Nabi;
cara memikirkan masalah hukum, dan mengikuti mahzabnya. Beliau telah
menginterpretasikan Al-Qur’an dan Al-Kitab untuk orang-orang Arab pada
abad ketujuh masehi. Kita harus melakukan interpretasi itu
sekarang..bukan untuk meniru apa yang beliau interpretasikan untuk
dirinya sendiri dan dunia Arab pada masa itu. Kita harus melakukannya
untuk kita sekarang. Sunnah adalah metode, bukan verbal. Sunnah adalah
metode Nabi dalam menghadapi dunia Arab pada abad ketujuh yang sudah
berlangsung dengan sukses. Kita harus mengikuti jalannya, metodologinya,
bukan terbatas pada kata-katanya.
Su mber : https://abrahamik.wordpress.com/2010/02/13/memahami-syariat-islam/
0 komentar:
Posting Komentar